Widget HTML #1

1 cm, 2 cm, 3 cm ...

         Pada masa akhir liburan semester genap, yaitu setelah kenaikan kelasku dari kelas dua ke kelas tiga sekolah dasar, aku jatuh terhempas dari tempat tidur dua tingkat. Ketika aku tidur, di tingkat atas tempat tidur tersebut di dalam kabin kapal penyeberangan dari pelabuhan Merak di ujung barat pulau Jawa menuju pelabuhan Panjang, Lampung.

          Aku tanpa sadar bergulir menuju tubir tingkat atas tempat tidur yang tanpa pagar itu. Akhirnya berat badanku tak bisa menahan tergantung di atas, tentunya. Aku jatuh berdebam di lantai kabin kapal yang pastinya terbuat dari lempengen besi keras.

          Ya, aku masih tertidur, benturan itu tentu tanpa rasa. Namun ketika aku terbangun, aku merasa ada suatu benda agak panjang terikat pada siku kananku. Ternyata itu payung pendek yang berguna agar tangan kananku tetap lurus. 

          Ada apa dengan tangan kananku?

          Ayahku bilang, "Tanganmu patah, sendinya lepas."

          Walhasil, memang benar-benar tulang lengan atasku berpisah dengan tulang hasta dan tulang pengumpil tangan kananku.

          Serta merta aku membayangkan, ini tangan kananku, lalu bagaimana aku bisa menulis? Bagaimana aku bisa sekolah lagi? Aku bukan anak kidal. Segala macam akibat nantinya tangan kananku tak berfungsi, berkecamuk di pikiranku.

          Sesampainya di Tanjung Karang, kami tak bisa langsung melanjutkan perjalanan menuju kota Bengkulu tempat kami berdomisili. Kami menginap beberapa hari di penginapan, dan aku dibawa ayahku ke tukang urut (pijat) tulang. Namun, tidak secepat itu kesembuhannya. Sehingga, kami tetap harus melanjutkan perjalanan dalam keadaan tangan kananku dibalut perban dan dalam posisi terikat dan tergendong ke bahu.

          Di Bengkulu, aku belum bisa langsung masuk sekolah. Bagaimanalah bisa masuk sekolah, tangan kananku sama sekali tak berfungsi. Akhirnya, aku dibawa oleh ayahku kembali ke ahli urut tulang yang berada di kota Curup, perjalanan 2 jam dengan kendaraan roda 4. Ahli urut tulang terkenal dengan julukan Encik Lampung.

          Hanya saja, Encik Lampung cuma mengembalikan posisi tulang lengan atas terhadap tulang hasta dan pengumpil terletak pada posisi sendinya. Akibatnya siku tangan kananku tetap tak bisa digerakkan. Tangan kananku tetap lurus, tak mampu digerak-gerakkan sendi sikunya. Lalu, bagaimana  sanggup menulis, memasukkan makanan ke mulut, memegang telinga, menyikat gigi, dan kegiatan lainnya jika tangan kananku lurus terus?

          Orang tuaku, dengan sabar dan tekun terus memberi semangat kepadaku, bahwa semua akan baik-baik kembali. Aku akan kembali mempunyai tangan kanan yang normal.

          Hari, demi hari aku melatih tangan kananku. Dengan dibantu orang tuaku, aku gerakkan sedikit demi sedikit. Pertama kali, sulit digerakkan. Hari berikutnya, bergerak sekitar 1 centimeter, berikutnya 2 centimeter, lalu 3 centimeter dan seterusnya.

          Bertambahnya gerakan sendi siku hari demi hari, merupakan peristiwa yang membuat semakin semangat dan bahagia hatiku. Aku akan sanggup menulis, dan lebih dari itu aku mampu sekolah kembali.

          Ukuran keberhasilan sendi siku tangan kananku normal ketika jari-jari tangan kananku bisa menggapai bahu kananku. Dan, alhamdulillah, itu terjadi sekitar 3 bulan kemudian. Allahu Akbar, aku bisa menulis dan sekolah kembali. Walaupun untuk mengejar ketinggalan materi pelajaran, aku musti mengikuti les atau kursus private di rumah seorang guru pada sore sampai malam harinya, setiap hari.

          Sejak itu aku faham, dan pengalaman hidup mengajariku bahwa suatu perubahan besar dalam hidup kita itu tidaklah mungkin terjadi jika kita tidak melakukan perubahan-perubahan kecil yang terus-menerus, berulang-ulang.

          Kemampuan jari-jariku sanggup menggapai bahuku, bukan hanya saat jari-jari itu menyentuh bahu, akan tetapi itu terbangun dari seluruh latihan, kebiasaan-kebiasaan kecil sedikit demi sedikit menggerakkan sendi siku kananku. Dengan izin Allah.

          Inilah kisahku yang menjadi fakta untuk tulisan-tulisan lainnya tentang bagaimana membiasakan belajar ilmu syar'i dengan  menuliskannya sedikit demi sedikit, yang akan menjadikan kita senantiasa belajar dan mengamalkan ilmu, baik amalan batiniah maupun amalan lahiriah. Dan, yang menjunjung tinggi perkataan seorang ulama besar legendaris, Al-Imam Bukhari, "Al-ilmu qoblal qoul wal amal - ilmu sebelum perkataan dan perbuatan."

***

Desain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya



WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis

Posting Komentar untuk "1 cm, 2 cm, 3 cm ..."

Tanya-Jawab Islam
Bertanyalah kepada
Orang Berilmu

Doa dan Zikir
Benteng
seorang Muslim

Menulis Cerita

Kisah Nyata
rasa Novel


Bahasa Arab
Ilmu Nahwu
Tata Bahasa
Bahasa Arab
Ilmu Sharaf
Perubahan Kata
Menulis Cerita Lanjutan
Kelindan
Kisah-kisah Nyata


Bahasa Indonesia
Belajar
Kalimat

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel


Bahasa Indonesia
Belajar
Kata

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

Disalin oleh belajar.icu
Blog Seputar Mendesain Kebiasaan Belajar Ilmu Syar'i dan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari.